Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon
pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri
petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah
sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi
bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan
Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا
وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada
Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن
نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ
الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan
pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah
memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada
Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa':
1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدً يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki
amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab:
70-71]
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah
(Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang
diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah
bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Amma ba’du:
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah...
Selayaknyalah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala atas segala nikmat yag Allah karuniakan kepada kita yang semua itu wajib
untuk kita syukuri. Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah banyaki,
tidak dapat dan tidak akan dapat kita hitung. Maka kewajiban seorang Muslim dan
Muslimah adalah mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah karuniakan kepada kita. Di
antaranya adalah nikmat Islam, nikmat iman, nikmat sehat, nikmat rizki, dan
lainnya yang Allah berikan kepada kita.
Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah
Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
وَآتَاكُم
مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ
ۚ وَإِن تَعُدُّوا
نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ
لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Seandainya kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya
kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat
zhalim dan sangat kufur karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang
diberikan kepada mereka.
Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah
nikmat Islam, iman, rizki, harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk
beribadah kepada Allah dengan benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.
Manusia diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara
mereka yang tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ
مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ
وَالْفَرَاغُ.
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya,
yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]
Banyak di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat
dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar
tentang Islam, tidak ia gunakan untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan
menghadiri majelis taklim yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah menurut
pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu, keimanan, dan ketakwaannya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat menambah amal kebaikannya.
Semoga melalui majelis taklim yang kita kaji dari
kitab-kitab para ulama Salaf, Allah memberikan hidayah kepada kita di atas
Islam, ditetapkan hati dalam beriman, istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan
hidayah taufik oleh Allah untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah
(menyeluruh) dan kontinyu hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam keadaan mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga Allah
senantiasa memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i, diberikan
kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih.
Seorang Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan
benar, kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal
karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal
shalih.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ
بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ
عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ
بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]
Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini
adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang dimaksud dengan diinul haqq (agama yang
benar) adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan
Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan
berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan untuk melakukan segala apa
yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan jasad.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya
agar mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya,
berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang baik dan melakukan amal shalih.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ummatnya dari perbuatan syirik,
amal dan akhlak yang buruk, yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan
dunia dan akhiratnya. [2]
Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah
adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk
dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan
bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang
membahayakan. Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan
keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya.
Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.
Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
1. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan
Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]
Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum
menuntut ilmu terbagi dua:
Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat,
zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa
menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.
Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu
tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk,
potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan
semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila
diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya,
atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya
beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan
rahmat dan hikmah-Nya.
Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat
besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa
pun.[4]
2. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan
untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا،
نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ،
يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا،
سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا
وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ
اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا
إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ
فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ
اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ
بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ
السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ،
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ،
لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ.
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari
seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.
Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah
hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa
menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan
akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa
menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu,
maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum
berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan
mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka,
rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung
mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat
amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla
bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka
Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.
“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya,
yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang
untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca,
menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami
(apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang
untuk mendapatkan ilmu syar’i.
“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua
makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut
ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu,
mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah
akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati
“shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan
sesudahnya. Wallaahu a’lam.•
Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang
ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ
فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ
بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ
الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ
وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى
الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ
الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
لَـمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا
وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ
بِحَظٍّ وَافِرٍ.
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah
mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya
untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan
sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh
makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air.
Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan
atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka
wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh,
ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”[6]
Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in,
mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat
wanita juga bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang
Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an
dan As-Sunnah di rumah mereka.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ
وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ
عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي
بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan
laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul
Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang
dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu).
Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]
Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu
yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari,
ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan
mereka ke Surga.
Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim
dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor,
Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan
dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun
Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.
3. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْـجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ
مَا رِيَاضُ الْـجَنَّةِ؟ قَالَ:
حِلَقُ الذِّكْرِ.
“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga,
perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang
dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir
(majelis ilmu).” [7]
‘Atha' bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah
berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan
haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah,
cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.” [8]
Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis
ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar
menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.
Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan
Menuntut Ilmu”. Di antara yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan
menuntut ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam
memperoleh ilmu, adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan
oleh para penuntut ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang
lainnya. Penulis jelaskan masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah
penting. Sebab, seseorang dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan
mengamalkan Islam dengan benar apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara
yang benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar dari
guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau melalui cara belajar dan kitab yang
dibacakan tidak benar, maka ia akan menyimpang dari jalan yang benar.
Para ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam
menuntut ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil
‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’, begitu
pula al-Khatib al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali kitab tentang
berbagai macam disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau
tulis dalam kitab tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab
lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah
dan kitab-kitab lainnya), dan masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman
sekarang ini, seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh
al-‘Utsaimin rahimahumullaah.
Dalam buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai
kitab para ulama terdahulu hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi
panduan agar memudahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat
dalam menuntut ilmu, beradab dan berakhlak serta berperangai mulia yang
seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca sekalian, serta bagi kaum Muslimin.
Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan menjadi
timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita
menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan
jalan kita untuk memasuki Surga-Nya. Aamiin.
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau,
serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari
Kiamat.
[Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju
Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan
Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
________
Footnotes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412),
at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi
(II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir
Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
(wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224),
dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish
Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya
dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu
Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas.
Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil
‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699),
Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah
(no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa
Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu
Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban
(no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’
radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510),
Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam
Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih
wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).
0 komentar:
Posting Komentar