Oleh Mustaqim Azis
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi kaum muslimin, baik laki-laki
maupun perempuan. Menuntut ilmu tidak dibatasi usia, selama hayat masih
dikandung badan, selama itulah ilmu wajib diburu. Karena kelak, salah
satu yang dapat menyelamatkan kita dari siksa api neraka adalah ilmu
yang bermanfaat.
Islam memiliki banyak ulama yang rajin menuntut ilmu, salah satunya
adalah Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki. Beliau sangat haus
kepada ilmu, sampai ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa beliau
memiliki guru tak kurang dari 900 guru, 300 dari kalangan tabi’in, dan
600 dari kalangan tabi’ut tabi’in. Masya Allah. . . .
Dari hasil menuntut ilmu itu pula lah beliau banyak melahirkan
kitab-kitab yang berguna bagi umat islam, salah satu kitab yang paling
dikenal adalah al-Muwatha. Selain itu, banyak pula ulama-ulama hebat
hasil didikannya. Sebut saja Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhal, Ayyub
bin Abu Tamimah As-Sakhtiyani, dan juga al-Imam Muhammad bin Idris
asy-Syafi’i al-Qurasyi al-Muthalibi, atau yang lebih dikenal dengan nama
Imam Asy-Syafi’i, pendiri madzhab Syafi’i.
Namun, keluasaan ilmu yang dimiliki Imam Malik sesungguhnya bukan
sekedar dari upaya kerja keras yang selama ini beliau lakukan. Beliau
bisa seperti itu, karena ada seorang ibu yang selalu memberi nasihat
kepada anaknya. Ada rahasia tersendiri bagaimana ibunda Imam Malik
memainkan peran dalam mendidik anaknya menjadi seorang ulama besar umat
ini.
Diceritakan bahwa pada saat Imam Malik hendak menuntut ilmu, sang
ibunda dengan cekatan mempersiapakan segala bekal yang diperlukan oleh
Imam Malik muda pada saat itu. Setelah semua telah siap, tak lupa sebait
nasehat disampaikannya kepada sang buah hati, “Sekarang pergilah ke
majelisnya Rabia’ah, dan pelajarilah adabnya sebelum kau mengambil ilmunya” pesan sang ibunda kepada anaknya.
Dan itulah yang dilakukan Imam Malik dalam menuntut ilmu. Mempelajari
adab sang guru sebelum pada akhirnya mencatat ilmu yang disampaikan
oleh gurunya tersebut.
Metode menuntut ilmu seperti itu ternyata dipakai juga oleh salah
seorang ulama dari Mauritania yang bernama Syaikh Asy-Syaibani. Beliau
pernah membawa puteranya yakni Syaikh Muhammad Said kepada al-‘Allamah Hamid
bin Muhammad bin Mihnazh Babah. Syaikh Asy-Syaibani lantas mengatakan
kepada Syeikh Hamid “Aku tak ingin engkau memngajari anak ini satu ilmu
pun.” Lanjutnya,“Aku hanya ingin dia mempelajari tingkah laku dan
adabmu. Maka biarlah dia menyertaimu tiap kali kau berdiri, duduk, dan
tidur.”
Begitulah, ternyata adab itu lebih penting dari sekedar ilmu yang
keluar dari lisan. Karena sungguh, dari perilaku atau adab inilah
seseorang itu bisa terlihat kadar keilmuannya. Pasalnya, hari ini tak
sedikit orang yang berbicara bak ulama, namun perilakunya tak
mencerminkan hal demikian.
Kiranya hal ini dapat kita jadikan pelajaran bersama. Setidaknya
dalam menuntut atau dalam memberikan ilmu, hendaklah kita memperhatikan
adabnya terlebih dahulu.
Wallahu’alam
Selasa, 16 Juni 2015
Perhatikan Hal Ini, Sebelum Mengambil Ilmu dari Orang Lain
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar